Ringkasan
Perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945, telah menciptakan Semangat 1945 yang inti sarinya berjuang dengan ikhlas, jujur, dan tawaduk (rendah hati). Ikhlas berarti tidak mengharapkan sesuatu kecuali kepuasan dapat menyelesaikan tugas perjuangan di jalan Allah SWT atau berjihad, jujur sesuai dengan sopan santun perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan tawaduk tidak membanggakan diri sebagai orang yang berjasa. Semangat 1945 ini juga dilandasi oleh semangat cinta tanah air bagi rakyat Indonesia yang sudah ditakdirkan bermukim dan berbudaya di kepulauan yang indah tata lingkungannya dan kaya sumber daya, dan terletak di kawasan garis katulistiwa yang berudara lembab dan hangat khas tropis. Hubul watan minal iman atau cinta tanah air adalah sebagian dari iman inilah yang menjiwai para pejuang kemerdekaan NKRI 1945 untuk mengusir penjajah agar tanah-air anugerah Allah SWT dapat dikelola kembali oleh umatnya sendiri yaitu Bangsa Indonesia, melalui organisasi dan manajemen yang modern dan profesional.
Perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1945, telah menciptakan Semangat 1945 yang inti sarinya berjuang dengan ikhlas, jujur, dan tawaduk (rendah hati). Ikhlas berarti tidak mengharapkan sesuatu kecuali kepuasan dapat menyelesaikan tugas perjuangan di jalan Allah SWT atau berjihad, jujur sesuai dengan sopan santun perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan NKRI yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan tawaduk tidak membanggakan diri sebagai orang yang berjasa. Semangat 1945 ini juga dilandasi oleh semangat cinta tanah air bagi rakyat Indonesia yang sudah ditakdirkan bermukim dan berbudaya di kepulauan yang indah tata lingkungannya dan kaya sumber daya, dan terletak di kawasan garis katulistiwa yang berudara lembab dan hangat khas tropis. Hubul watan minal iman atau cinta tanah air adalah sebagian dari iman inilah yang menjiwai para pejuang kemerdekaan NKRI 1945 untuk mengusir penjajah agar tanah-air anugerah Allah SWT dapat dikelola kembali oleh umatnya sendiri yaitu Bangsa Indonesia, melalui organisasi dan manajemen yang modern dan profesional.
Untuk
memahami dengan semangat hubbul waton minal iman, perlu sekali mengenal bumi
Nusantara melalui pelawatan ke berbagai pelosok tanah-air, minimal di dalam
lingkungan di sekitar tempatnya bermukim dan berbudaya. Sesuai dengan firman
Allah SWT, Al Quran Surat Al Mulk ayat 15, manusia perlu mengenal lingkungan
hidup tempatnya bermukim dan berbudaya, sebab jika tidak kenal maka tidak
sayang, onbekend maak onbemind demikian peribahasa Belanda. Kalau sudah
mengenal dan memahami segala sumber dayanya, perlu berjihad dengan Semangat
1945 membangun NKRI karena segala sumber dayanya masih tersedia dan tinggal
meningkatkan kemampuan manusianya. Untuk mewujudkannya perlu sekali mempelajari
nilai sosial, ekonomi, yaitu kesejahteraan hidup bagi rakyat Indonesia secara
berkelanjutan.
Kepercayaan
diri sebagai Bangsa Indonesia yang merupakan keturunan nenek moyang yang sudah
menguasai teknologi tinggi dengan hasil karyanya, antara lain Candi Borobudur
yang dibangun selama 30 tahun sejak Tahun 721 m, merupakan bukti bahwa Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar. Demikian pula dengan bangunan prasejarah di
Lebak Sibedug, Banten Selatan, yang secara geometri sesuai dengan koordinat
bumi, termasuk tambang prasejarah yang terbesar dan tertua di dunia yang
terletak di Nagreg, Cicalengka, Jawa Barat, merupakan hasil karya teknologi
yang mengagumkan. Sekarang bagaimana dengan generasi penerus Bangsa Indonesia
yang memiliki tanggung jawab membangun NKRI, mampukah jika diserahi tugas
berjihad dengan Semangat 1945 membangun manusia Indonesia seutuhnya dan
Mencerdaskan kehidupannya?
Lahirnya
Semangat 1945
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945, atas permintaan Sultan Hamengku Buwana IX Pusat Pemerintah NKRI pindah ke Yogyakarta dan sekaligus menjadi Ibukota Negara. Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pimpinan negara pun mulai berkedudukan di Ibukota Negara Yogyakarta sejak 4 Januari 1946 untuk memantapkan kedudukan sekaligus merumuskan sistematika perjuangan. Hal ini dilakukan karena untuk mereformasi dan merevitalisasi masyarakat Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, perlu sekali menumbuhkambangkan kepercayaan diri bahwa Bangsa Indonesia adalah keturunan bangsa pejuang. Bangsa pejuang yang dibangkitkan oleh Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Raden Intan, Pangeran Jayakarta, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Kapitan Patimura, dan masih banyak lagi lainnya yang sudah berjuang menentang penjajahan. Tetapi sayang sekali karena kurang terorganisasi dengan manajemen perjuangan yang tidak terpadu, maka perjuangan kurang membawa hasil.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945, atas permintaan Sultan Hamengku Buwana IX Pusat Pemerintah NKRI pindah ke Yogyakarta dan sekaligus menjadi Ibukota Negara. Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pimpinan negara pun mulai berkedudukan di Ibukota Negara Yogyakarta sejak 4 Januari 1946 untuk memantapkan kedudukan sekaligus merumuskan sistematika perjuangan. Hal ini dilakukan karena untuk mereformasi dan merevitalisasi masyarakat Indonesia yang baru saja terlepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, perlu sekali menumbuhkambangkan kepercayaan diri bahwa Bangsa Indonesia adalah keturunan bangsa pejuang. Bangsa pejuang yang dibangkitkan oleh Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Raden Intan, Pangeran Jayakarta, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanudin, Kapitan Patimura, dan masih banyak lagi lainnya yang sudah berjuang menentang penjajahan. Tetapi sayang sekali karena kurang terorganisasi dengan manajemen perjuangan yang tidak terpadu, maka perjuangan kurang membawa hasil.
Berdasarkan
pengalaman sejarah inilah maka Ibukota Yogyakarta generasi baru Angkatan 1945,
berkumpul di Ibukota Negara merumuskan perjuangan yang terorganisasi dengan
manajemen yang berdayaguna, baik melalui diplomasi maupun perjuangan
bersenjata. Mengingat bahwa dukungan keuangan untuk membiayai perjuangan hampir
tidak tersedia, maka diusahakan dengan cara apapun berdasar keadaannya yang serba
darurat. Pembiayaan tersebut antara lain untuk membeli senjata yang
diselundupkan ke Indonesia, membiayai perjuangan diplomasi ke mancanegara,
barter mata dagangan yang memiliki nilai komersial ke luar negeri, dan beberapa
lagi cara lainnya. Sementara itu perjuangan di dalam negeri yang didominasi
dengan perjuangan bersenjata, dilakukan secara sukarela atau ikhlas, jujur, dan
tawaduk, dan semuanya dibantu logistik oleh rakyat baik sandang, pangan, maupun
papan. Di sinilah terciptanya militansi perjuangan dengan ekonomi biaya rendah
yang selanjutnya disebut Semangat 1945.
Perumusan
perjuangan ini juga dirumuskan oleh para cendekiawan pejuang seperti antara
lain Mr. Teuku Muhammad Hasan (Sumatera Utara), Sutan Sjharir (Sumatera Barat),
Dr. Adnan Kapau Gani (Sumatera Selatan), Mr. Dr. Kusumaatmadja (Jawa Barat),
Sultan Hamengku Buwana IX (Yogyakarta), I Gusti Ketut Pudja (Sunda Kecil),
serta Fritz Kirihijo dari Irian, yang pada saat itu ada di New York, Amerika
Serikat, dan semuanya ini dikoordinasi oleh Soekarno-Hatta sebagai pimpinan
negara. Perjuangan kemerdekaan NKRI yang dikoordinasi secara sistematis melalui
organisasi dan manajemen yang berdayaguna ini, sangat efektif untuk menghadapi
Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Sementara itu Bung Tomo dari
Jawa Timur cukup berhasil menyemangati perjuangan rakyat semesta, sedangkan
Panglima Besar Jenderal Soedirman juga berhasil untuk menerapkan strategi
perjuangan bersenjata dengan para stafnya seperti Letnan Jenderal Oerip
Soemohardjo, Kolonel Abdoel Haris Nasoetion, Kolonel Tahi Bonar Simatoepang,
Komodor Udara Soerjadi Soerjadarma, Laksamana Laut Muhammad Nasir dan beberapa
lagi lainnya.
Semangat
1945 ini dapat dipelajari kembali kualitas dan kuantitasnya, sebab secara
psikologi tidak mustahil dapat diterapkan untuk membentuk manusia Indonesia
sebagai generasi penerus yang lurus. Generasi semacam ini amat diperlukan bagi
pembangunan negara, seperti halnya yang sudah dilakukan di berbagai negara maju
yang rakyatnya sudah hidup aman, makmur, dan mengasyikan. Untuk itu Semangat
1945 perlu sekali disosialisasikan dan dihayati untuk motivasi perjuangan, dan
sudah terbukti dapat menyemangati berbagai perjuangan fisik, antara lain Bandung
Lautan Api yang menghasilkan pengakuan de facto Republik Indonesia oleh
Belanda.
Allahu
Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
Pertempuran hebat di Surabaya yang dijiwai Semangat 1945 dan gema Allahu Akbar yang selalu dikumandangkan oleh Bung Tomo, ternyata mampu membakar semangat rakyat untuk menolak hadirnya kembali penjajahan Belanda yang dibukakan jalannya oleh tentara Inggris yang mewakili pasukan Sekutu di Asia Tenggara. Pertempuran yang sangat mengejutkan tentara Inggris dengan perlengkapan senjata modern, tidak menduga berakibat fatal, sebab komandan tentara Inggris di Surabaya Brigadir Jenderal Mallaby gugur dalam pertempuran. Sekalipun selanjutnya oleh penggantinya Brigadir Jenderal Manserch mengultimatum rakyat agar menyerah, namun seorang pun tidak ada yang menyerahkan diri. Walaupun akhirnya pada tanggal 10 November 1945 rakyat Surabaya dihajar habis-habisan oleh angkatan perang Inggris dari darat, laut, dan udara, namun dengan Semangat 1945 rakyat tetap pantang menyerah. Dari peristiwa pertempuran hebat di Surabaya inilah yang telah menelan korban sekitar 20-ribu penduduk dan 500 orang tentara Inggris, dunia internasional mengetahui bahwa rakyat Indonesia tetap menolak penjajahan dan dengan kemampuan militer yang masih sangat terbatas tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Pertempuran hebat di Surabaya yang dijiwai Semangat 1945 dan gema Allahu Akbar yang selalu dikumandangkan oleh Bung Tomo, ternyata mampu membakar semangat rakyat untuk menolak hadirnya kembali penjajahan Belanda yang dibukakan jalannya oleh tentara Inggris yang mewakili pasukan Sekutu di Asia Tenggara. Pertempuran yang sangat mengejutkan tentara Inggris dengan perlengkapan senjata modern, tidak menduga berakibat fatal, sebab komandan tentara Inggris di Surabaya Brigadir Jenderal Mallaby gugur dalam pertempuran. Sekalipun selanjutnya oleh penggantinya Brigadir Jenderal Manserch mengultimatum rakyat agar menyerah, namun seorang pun tidak ada yang menyerahkan diri. Walaupun akhirnya pada tanggal 10 November 1945 rakyat Surabaya dihajar habis-habisan oleh angkatan perang Inggris dari darat, laut, dan udara, namun dengan Semangat 1945 rakyat tetap pantang menyerah. Dari peristiwa pertempuran hebat di Surabaya inilah yang telah menelan korban sekitar 20-ribu penduduk dan 500 orang tentara Inggris, dunia internasional mengetahui bahwa rakyat Indonesia tetap menolak penjajahan dan dengan kemampuan militer yang masih sangat terbatas tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan NKRI.
Aku
Rela Bandung Menjadi Lautan Api
Atas rayuan Belanda, dengan persetujuan Perdana Menteri Soetan Sjahrir tentara Inggris boleh masuk ke Kota Bandung dengan tugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan perang yang sebagian besar terdiri dari masyarakat Belanda. Tetapi persetujuan Perdana Menteri Sjahrir ini dikhianati tentara Inggris yang bersenjata lengkap dengan mengizinkan tentara Belanda ikut di dalamnya dengan dalih bahwa masyarakat Bandung akan mengelu-elukan kedatangan tentara Belanda seperti halnya dengan masyarakat Filipina menyambut kehadiran Jenderal Douglas Mac Arthur dari Amerika, atau seperti masyarakat Malaya menyambut kehadiran tentara Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis Mounbatten, pada akhir Perang Dunia II. Di sinilah pimpinan tentara Inggris tertipu, sebab rakyat Bandung ternyata menentang kehadiran Belanda dan korban demi korban juga berjatuhan di kalangan tentara Inggris, sebab rakyat Indonesia tidak dapat membedakan mana Inggris dan mana Belanda, sebab sama-sama bulenya. Akhirnya melalui Perdana Menteri Sjahrir, tentara Inggris meminta agar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mundur 11 km ke arah selatan Kota Bandung, agar tugas tentara Inggris tidak terganggu. Sementara itu TKR yang diperintahkan mundur agar segera berkonsolidasi untuk menghadapi musuh utamanya yaitu Belanda, sebab pada November 1946 tentara Inggris harus sudah menyelesaikan tugasnya di Indonesia dan pulang ke negaranya.
Atas rayuan Belanda, dengan persetujuan Perdana Menteri Soetan Sjahrir tentara Inggris boleh masuk ke Kota Bandung dengan tugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan para tawanan perang yang sebagian besar terdiri dari masyarakat Belanda. Tetapi persetujuan Perdana Menteri Sjahrir ini dikhianati tentara Inggris yang bersenjata lengkap dengan mengizinkan tentara Belanda ikut di dalamnya dengan dalih bahwa masyarakat Bandung akan mengelu-elukan kedatangan tentara Belanda seperti halnya dengan masyarakat Filipina menyambut kehadiran Jenderal Douglas Mac Arthur dari Amerika, atau seperti masyarakat Malaya menyambut kehadiran tentara Inggris yang dipimpin Laksamana Lord Louis Mounbatten, pada akhir Perang Dunia II. Di sinilah pimpinan tentara Inggris tertipu, sebab rakyat Bandung ternyata menentang kehadiran Belanda dan korban demi korban juga berjatuhan di kalangan tentara Inggris, sebab rakyat Indonesia tidak dapat membedakan mana Inggris dan mana Belanda, sebab sama-sama bulenya. Akhirnya melalui Perdana Menteri Sjahrir, tentara Inggris meminta agar Tentara Keamanan Rakyat (TKR) mundur 11 km ke arah selatan Kota Bandung, agar tugas tentara Inggris tidak terganggu. Sementara itu TKR yang diperintahkan mundur agar segera berkonsolidasi untuk menghadapi musuh utamanya yaitu Belanda, sebab pada November 1946 tentara Inggris harus sudah menyelesaikan tugasnya di Indonesia dan pulang ke negaranya.
Melalui
kombinasi perjuangan diplomasi dan perang rakyat yang dipimpin Kolonel A.H.
Nasoetion dimulailah perang gerilya yang cukup memusingkan Belanda, sebab TKR
yang kemudian mengambil alih tugas melucuti tentara Jepang dan membebaskan
tawanan perang dari tentara Inggris di pedalaman atas gagasan Perdana Menteri
Sjahrir, kemudian mempersenjatai TKR dengan lengkap untuk enam batalyon.
Persetujuan ini ditentang keras ole hBelanda, dan pada saat TKR mengosongkan
Kota Bandung, rakyat mengikutinya dan bersama-sama membakar Kota Bandung
menjadi lautan api. Di sinilah tentara Inggris tidak mempercayai Belanda lagi,
dan mendesak Belanda agar berunding langsung dengan Pemerintah NKRI dan dengan
demikian Belanda terpaksa mengakui de facto NKRI. Inilah hasil perjuangan
diplomasi yang dikombinasikan dengan perjuangan bersenjata melalui perang
rakyat yang dijiwai Semangat 1945. Perundingan ini dilakukan di Linggajati,
Kuningan, Jawa Barat, pada 10 November 1946, dan menjadi saksi sejarah
perjuangan kemerdekaan yang perlu diketahui dan dihayati para generasi penerus.
Kemenangan
Akhir Melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta
Pada tanggal 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda menyerang dan menduduki ibukota RI Yogyakarta, dan untuk menghindari kemungkinan jatuhnya korban di kalangan penduduk jika terjadi pertempuran, maka seluruh pasukan TNI mundur ke luar kota untuk berkonsolidasi. Konsolidasi ini makan waktu satu minggu, dan sesudah selesai maka serangan demi serangan dilakukan pada malam hari untuk menghindari korban di kalangan penduduk. Serangan umum pertama dilakukan pada akhir Desember 1948, dan cukup mengejutkan Belanda yang menduga bahwa TNI sudah hancur, kemudian disusul serangan umum berikutnya secara berkala. Belanda sendiri mempublikasikan bahwa serangan pada malam hari sebagai perampokan, kepada para wartawan mancanegara yang ada di yogyakarta, sebab pimpinan negara Bung Karno dan Bung Hatta sudah ditawan. Padahal waktu Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap sudah bukan sebagai presiden dan wakil presiden, sebab pimpinan negara sudah diserahterimakan kepada Mr. Syafroeddin Prawiranegara di Bukittinggi sebagai Presiden Pemerintah Darurat RI (PDRI). Sayang sekali Presiden PDRI ini dilupakan, padahal masyarakat internasional mengakui keberadaan RI di bawah Mr. Syafroeddin Prawinegara yang juga berjasa ikut berperan menegakkan kemerdekaan NKRI.
Pada tanggal 19 Desember 1948 angkatan perang Belanda menyerang dan menduduki ibukota RI Yogyakarta, dan untuk menghindari kemungkinan jatuhnya korban di kalangan penduduk jika terjadi pertempuran, maka seluruh pasukan TNI mundur ke luar kota untuk berkonsolidasi. Konsolidasi ini makan waktu satu minggu, dan sesudah selesai maka serangan demi serangan dilakukan pada malam hari untuk menghindari korban di kalangan penduduk. Serangan umum pertama dilakukan pada akhir Desember 1948, dan cukup mengejutkan Belanda yang menduga bahwa TNI sudah hancur, kemudian disusul serangan umum berikutnya secara berkala. Belanda sendiri mempublikasikan bahwa serangan pada malam hari sebagai perampokan, kepada para wartawan mancanegara yang ada di yogyakarta, sebab pimpinan negara Bung Karno dan Bung Hatta sudah ditawan. Padahal waktu Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap sudah bukan sebagai presiden dan wakil presiden, sebab pimpinan negara sudah diserahterimakan kepada Mr. Syafroeddin Prawiranegara di Bukittinggi sebagai Presiden Pemerintah Darurat RI (PDRI). Sayang sekali Presiden PDRI ini dilupakan, padahal masyarakat internasional mengakui keberadaan RI di bawah Mr. Syafroeddin Prawinegara yang juga berjasa ikut berperan menegakkan kemerdekaan NKRI.
Berdasar
berita radio mancanegara, Sri Sultan H.B. IX mendapat informasi bahwa Sidang
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di New York, Amerika Serikat, akan
membicarakan masalah Indonesia yang oleh Belanda di laporkan sudah tidak ada
pertempuran karena TNI sudah hancur, pemerintahnya sudah menyerah dan tinggal
melakukan pembersihan perampokan di malam hari. Mendengar berita ini Sri Sultan
H.B IX menghubungi dan menyarankan kepada Panglima Besar Jenderal Soedirman,
agar melakukan serangan umum pada siang hari ke kota yogyakarta. Gagasan ini diterima
dan memerintahkan Kolonel A.H.Nasoetion, Panglima Markas Besar Komando Djawa
(MBKD) untuk merencanakannya dengan Letnan Kolonel Soeharto sebagai pelaksana
di lapangan. Pada saat yang bersamaan PBB mengirimkan utusan bersama sejumlah
wartawan untuk menyaksikan keadaan kota yogyakarta. Tetapi utusan tersebut
setiba di lapangan terbang Maguwo, tidak dapat masuk ke Kota Yogyakarta yang
sedang diserbu dan diserang habis-habisan pada siang hari tanggal 1 Maret 1949
oleh TNI dengan dukungan rakyat yang menyambut dengan Semangat 1945. Hasil
Serangan Umum ini PBB berkeyakinan bahwa NKRI dengan TNI-nya masih ada dan
rakyatnya yang pantang menyerah masih bersemangat 1945 untuk menegakkan dan
mempertahankan kemerdekaannya. Akhir dari semuanya ini, PBB memutuskan agar
Ibukota Jogyakarta dikembalikan kepada Pemerintah RI, dan Belanda dengan
Indonesia kembali ke meja perundingan, yang hasilnya secara de jure Belanda dan
dunia internasional mengakui NKRI.
Benang
Merah untuk Generasi Penerus
Semangat 1945 sebagai benang merah masih relevan hingga sekarang, dan para generasi penerus memiliki kewajiban mengisi kemerdekaan NKRI dengan pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya, yang sampai saat ini rakyat belum juga merasakan bagaimana nikmatnya hidup di negaranya sendiri yang sudah merdeka. Demikian pula dengan para veteran pejuang kemerdekaan tanah-air yang sudah lanjut usia, jangankan rumah, tanah tidak punya keperluan air pun harus membeli, masya’Allah. Sanggupkah para generasi penerus dengan Semangat 1945, meneruskan perjuangan kemerdekaan dengan pembangunan, seperti halnya membangun Candi Borobudur, menguasai lautan seperti pada Zaman Bahari Jalesveva Jaya Mahe-justru di lautan kita jaya, dan berjuang menegakkan kemerdekaan NKRI dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang profesional. Tidak mustahil para perintis kemerdekaan sampai dengan para pejuang kemerdekaan NKRI akan menangis menyaksikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya Bangsa Indonesia sekarang ini, subhanallah.
Semangat 1945 sebagai benang merah masih relevan hingga sekarang, dan para generasi penerus memiliki kewajiban mengisi kemerdekaan NKRI dengan pembangunan sosial, ekonomi, dan budaya, yang sampai saat ini rakyat belum juga merasakan bagaimana nikmatnya hidup di negaranya sendiri yang sudah merdeka. Demikian pula dengan para veteran pejuang kemerdekaan tanah-air yang sudah lanjut usia, jangankan rumah, tanah tidak punya keperluan air pun harus membeli, masya’Allah. Sanggupkah para generasi penerus dengan Semangat 1945, meneruskan perjuangan kemerdekaan dengan pembangunan, seperti halnya membangun Candi Borobudur, menguasai lautan seperti pada Zaman Bahari Jalesveva Jaya Mahe-justru di lautan kita jaya, dan berjuang menegakkan kemerdekaan NKRI dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang profesional. Tidak mustahil para perintis kemerdekaan sampai dengan para pejuang kemerdekaan NKRI akan menangis menyaksikan keadaan sosial, ekonomi, dan budaya Bangsa Indonesia sekarang ini, subhanallah.
Pustaka
Acuan:
Bakry,
S. 1946. Peringatan Setahun Peristiwa Bandoeng. Penerbit (?)
Schomper,
P. 1996. Selamat Tinggal Hindia. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Sitaresmi,
R, al al,. 2000. Saya Pilih Mengungsi, Penerbit Bandung Heritage-Buanaya,
Bandung.
Zweers,
L. 1997. Agressi II: Operatie Kraai, Sdu Uitgevers, Den Haag, Nederland.
------------.
1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1946. PT Tira Pustaka, Jakarta.
------------.
1990. Serangan Umum 1 Maret 1949. PT. Citra Lamtoro Gung Persada, Jakarta.
Ir.
H. Soewarno Darsoprajitno adalah ahli Geologi Pariwisata Ekologi; Dosen Sekolah
Tinggi Manajemen Pariwisata-Universitas Ars Internasional, Bandung; Veteran
Perang NKRI 1945-Mantan Tentara Pelajar Batalyon 300, Detasemen III, Brigade
17, yang direkrut masuk Mobile Brigade Polisi Negara, 1948-1949, Wherkreis
III-Subwherkreis 103A, Daerah Istimewa Jogyakarta.
Sumber:
Makalah disampaikan dalam acara Dialog Lintas Generasi pada tanggal Juli 2009 di Balai Peletarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Makalah disampaikan dalam acara Dialog Lintas Generasi pada tanggal Juli 2009 di Balai Peletarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar